Got Chezz ?

Got Chezz ?

Tuesday, May 25, 2010

Dota Parser

dW3gParser-setup 0.16 revision 1260 - Click Here

Read More

Tuesday, May 5, 2009

Modul & Tutorial

Modul - SPK - lecture notes DSS

Modul - Sistem Penunjang Keputusan - Click Here


Modul - Keamanan Komputer - Click Here

Modul - Jaringan Komputer.rar - Click Here

Modul - Web.rar - Click Here

Tutorial Delphi & SQL-Server.rar - Click Here

Testing & Implementasi Aplikasi.rar - Click Here

Rekam Medis - Delphi.rar - Click Here

FOXBASE.rar - Click Here

Read More

Wednesday, April 8, 2009

Patung Buddha MENANGIS di Bireuen Aceh

Patung Buddha MENANGIS di Bireuen Aceh.

HEBOH!!!

Tadi pagi, saya menerima kabar dari saudara di Bireuen, Aceh.

Patung Buddha (figur Sakyamuni) meneteskan air mata..

Hingga siang hari ketika saya menerima foto ini, kabarnya patung tersebut masih terus meneteskan air mata. Awalnya diperkirakan air tersebut adalah tetesan hujan atau air bocoran dari atap.. tetapi bukan.. patung lain yang didekatnya juga tidak basah..

Ketika dilihat, memang dari mata patung Buddha tersebut terdapat linangan air mata..

Kabarnya, para kyai dan pastor serta orang pintar juga langsung menuju ke sana untuk melihat kejadian yang aneh ini...

Berikut adalah beberapa foto patung tersebut yang diambil dari lokasi kejadian:




Read More

Wednesday, March 25, 2009

Bali Raih Penghargaan Spa Terbaik di Dunia

DENPASAR - Bali menerima penghargaan sebagai destinasi wisata spa terbaik di dunia. Penghargaan diberikan oleh majalah spa terkemuka "Senses" dari Jerman pada ajang "Wellness Award 2009" di Berlin.

Penghargaan "The Best Spa Tourism Destination in The World 2009" itu secara simbolis diserahkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik kepada Gubernur Bali Made Mangku Pastika di Gedung Wiswasabha, komplek Kantor Gubernur Bali, Jalan Basuki Rahmat Denpasar, Selasa (24/3/2009). "Ini membuktikan Bali masih merupakan destinasi wisata yang diminati," ujar Wacik.

Wacik berharap, penghargaan itu dapat memacu para pelaku pariwisata di Bali untuk lebih meningkatkan kualitas layanan kepada wisatawan. Apalagi penghargaan didasarkan pada penilaian pembaca majalah yang memiliki oplah hingga 60.000 eksemplar itu.

Mangku Pastika meminta agar kalangan pariwisata Bali tidak terlena oleh penghargaan itu. Sebab, sejumlah masalah kini sudah mewarnai Bali. Seperti masalah sampah, kemacetan, banjir, dan kemiskinan. "Jangan sampai turis enggan datang karena masalah-masalah seperti itu," tegasnya. Sementara itu, Ketua Asosiasi Spa Indonesia Mooryati Soedibyo menyatakan, keunggulan spa Indonesia dan khususnya Bali karena pengelolaan yang disatukan dengan konsep budaya warisan leluhur. "Itu merupakan satu-satunya di dunia," tegasnya.

Read More

Wednesday, March 18, 2009

Hilangnya Film2 Baru (Impor/Hollywood) di Bioskop ?

Maret 16, 2009

Yah hampir 2 - 3 minggu ini, film2 impor di bioskop2 terutama 21/XXI tidak ada update yg berarti. Mana Watchmen ? Mana Dragon Ball Evolution ? Mana Street Fighter ? Dll. Yg ada hanya film2 yg dah berumur lawas macam Seven Pounds, Defiance (bused!), Valkryie. Kalaupun ada yg baru, film2 tersebut termasuk kategori telat rilis, dengan dvd - dvd copy kualitas ori yg udah beredar (contoh Passenger-nya Anne Hathaway) dan film2 indonesia yg buat gw gak jelas bgt.

Jawaban dari lambatnya film2 baru hollywood nongol di bioskop2 kita ternyata gw temui di artikel ini :

Selamat Datang Era “Assembling” Film

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono baru saja mengambil langkah penting untuk mendorong dan memantapkan tumbuhnya industri film dalam negeri. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Ir. Jero Wacik baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Permenbudpar) Nomor: PM.55/PW.204/MKP/2008, tertanggal 25 November 2008, tentang pemanfaatan jasa teknik film dalam negeri dalam kegiatan pembuatan dan penggandaan film nasional, serta film impor.

Munculnya peraturan ini sudah lama diperjuangkan dan dinantikan oleh insan industri film di Tanah Air. Peraturan ini jelas akan memacu tumbuhnya industri film di dalam negeri, khususnya jasa teknik film hal mana akan mempermudah dan mengefisienkan proses pembuatan film nasional, serta memantapkan perkembangan industri film nasional.

Usaha jasa teknik sempat tertinggal perkembangannya akibat lahirnya era digital yang bersamaan dengan krisis multidimensional yang menimpa Indonesia dan merosotnya produksi film nasional selama beberapa tahun. Mestinya hal itu tidak perlu terjadi kalau penggandaan kopi film impor yang diputar di sini digandakan di dalam negeri. Saat industri film nasional mati suri, justru film impor merajai perbioskopan kita, bahkan keterusan sampai sekarang. Kopi filmnya juga didatangkan dari luar negeri, bukan hasil jasa teknik dalam negeri.

“Assembling” Film

Permenbudpar menetapkan, impor film asing seluloid hanya dapat dilaksanakan dalam bentuk master negatif atau dupe negatif film yang merupakan hasil reproduksi dari master negatif film. Impor film seluloid dalam bentuk master negatif atau dupe negatif itu dapat disertai dengan satu contoh kopi film jadi. Sedangkan penggandaan kopi film yang akan dipertunjukkan di Indonesia wajib menggunakan jasa teknik film di Indonesia.

Bioskop atau media elektronik dilarang mempertunjukkan atau menayangkan film nasional dan film impor sebelum dinyatakan lulus sensor oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Lulus sensor itu hanya untuk copy film hasil penggandaan perusahaan jasa teknik film dalam negeri yang telah memiliki izin usaha jasa teknik film.

Sekretaris Jenderal Gabungan Studio Film Indonesia (GASFI), Rudy S Sanyoto SE, yang juga menjadi Wakil Ketua BP2N (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional) mengemukakan, munculnya Permenbudpar mengingatkan kita kepada kebijakan pemerintah dalam bidang otomotif pada tahun 1970-an. Ketika itu pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa mobil yang diimpor harus dalam bentuk S/CKD (semi/completed knocked down). Artinya, mobil yang masuk harus di-assembling di Indonesia dan mobil built-up tidak boleh lagi diimpor. Meskipun waktu itu industri otomotif tidak terlalu siap, pemerintah tetap teguh dengan kebijakannya. Hasilnya pun luar biasa. Lapangan kerja di bidang industri otomotif maju pesat.

Munculnya Permenbudpar bisa dibilang menjadi lahirnya assembling film di Tanah Air. [SP/Willy Hangguman]

Lonceng Kematian bagi Bioskop dan Film di Indonesia 2009

Pemilik Inter Studio, Rudy S. Sanyoto SE, mengibaratkan Permenbudpar dengan assembling mobil di Indonesia pada era 1970-an. Spontan disanggah HM Johan Tjasmadi, selaku Ketua LSF, “Mobil beda dengan film. Sebab mobil harus dibikin mulai dari mur, ban, sampai mesin. Kalau film sudah bisa dibuat secara utuh dari cerita, skenario, sampai penyutradaraan, tapi prossesingnya belum, harus di luar negeri. Lab dalam negeri belum siap, apalagi belum mendapatkan sertifikat ISO.”
Jadi kalaupun diwajibkan untuk segalanya dilakukan di dalam negeri, Tjasmadi menyarankan kebijakan dalam tiga tahapan;
1.Seluruh lab dalam negeri pada tahun pertama harus menyiapkan diri sampai mendapatkan ISO.
2.Mulai tahun kedua bisa mencetak film produksi dalam negeri dengan cukup sempurna.
3.Maka pada tahun ketiga, eksportir film dari luar negeri tanpa dipaksa pun akan bersedia memilih lab di Indonesia untuk mencetak copy.
“Kalau sekarang dipaksakan berlaku, segalanya bisa macet, impor film stop, bioskop tak mendapat pasokan lagi hingga satu persatu tutup,” tuntas Tjasmadi, “Dan pada gilirannya, karena sudah tiada bioskop lagi, film kita pun otomatis akan terhenti!”
Hatoek Soebroto selaku pemilik Mitra Lab sendiri merasa Permenbudpar tersebut tidak perlu. Terutama karena sebenarnya sudah menumpuk luber pekerjaan yang mesti diselesaikan, nyaris tak tertampung. Kalau tetap dipaksakan bisa sangat berbahaya.
Produser produktif dari StarVision, Ir Chand Parwes Servia membenarkan, “Berbahaya sekali. Dulu film Indonesia terlalu diproteksi, akibatnya malah mengalami mati suri pada tahun 1998. Sekarang setelah sepuluh tahun akan diproteksi lagi dengan cara yang tidak benar. Sangat bisa menewaskan perfilman nasional hanya demi kepentingan studio. Kapasitas lab dalam negeri tidak mencukupi. SDM-nya, mesinnya, akhirnya akan terjadi persaingan tidak sehat. Hakekatnya, otomotif bukan produk kreatif. Ingat, orang yang dipaksa akan merasa tidak nyaman hingga tidak kreatif lagi.”
Mengenai tugas LSF (Lembaga Sensor Film) yang mesti mencegat, semua film yang akan disensor harus diproses di dalam negeri, Parwez menyebut, “LSF ditujukan untuk perlindungan moral masyarakat, sekarang akan dimanfaatkan juga demi kepentingan dagang? Kami selalu mencetak di luar negeri, karena lab dalam negeri belum siap, belum waktunya!”
Nia Dinata, produser-sineas idealis dari Kalyana Shira Film, menyebut Permenbudpar sangat parah, “Peraturan tersebut tidak realistis karena untuk optical sound transfer belum ada di sini. Biasanya optical sound kami bikin di luar, hanya bikin dua married print, selebihnya untuk copy-copy berikut tentu di Indonesia. Kalau saja semua fasilitas sudah ada, juga jumlah lab film paling tidak sudah berdiri lima yang bagus dan kompeten, boleh saja bikin peraturan tersebut. Sekarang baru ada dua lab di Jakarta dan tidak bisa optical sound. Bangkok saja punya lima lab yang lebih memungkinkan sekarang.”
Sebagai sutradara laris yang memproduseri film-filmnya sendiri, Hanung Bramantyo mencela, “Itu keputusan yang tergesa-gesa. Mengingat secara SDM kita belum siap, semestinya yang diperlukan sekarang adalah alokasi pajak untuk membangun dan mensubsidi lab film.”
Jadi kapan sebaiknya Permenbudpar ini diwujudkan? “Mulai tahun 2015, setelah SDM dan infrastrukturnya memadai!” tegas sineas muda ini.
Ody Mulia Hidayat, produser Maxima Pictures yang memproduksi lima film per tahun, kontan menyetujui, “Tidak mungkin direalisir minggu depan! Memangnya kita sudah siap dengan sistem, alat, dan SDM-nya? Mari kita duduk sama-sama dan membahasnya dengan kepala dingin, jangan tergopoh-gopoh. Belajar dulu, umpama orang kuliah, perlu waktu enam tahunlah sedikitnya. Jadi kalau dicanangkan mulai 2009, mestinya menjadi 2015, baru bisa!”
Bagaimana pula dengan penggandaan copy film impor yang mesti dilakukan di lab dalam negeri? Tony Arif dari Camila Internusa Film (yang mengedarkan film-film major company dari Hollywood) berkomentar, “Permenbudpar tersebut terlalu prematur. Seharusnya disosialisasikan lebih dulu sambil mempersiapkan pabriknya yang harus canggih. Sebab film impor dari segi audionya amat hebat.”
Perkara teknis audio memang secara jujur diakui, lab dalam negeri belum nempil menggandakan Dolby, THX, apalagi program gambar 3-D? Rasanya mustahil perusahaan film luar mau meminjamkan master-copynya untuk digandakan di sini. Beberapa tahun lalu, pernah dicoba animasi panjang (untuk bioskop) Dora Emon diduplikasikan lab kita. Hasilnya warna tubuh si robot kucing masa depan bukannya biru cemerlang tapi bluwek keabu-abuan (!). Pembawa filmnya dari Jepang bengong melihat malih warna ini.
Deddy Mizwar selaku Ketua BP2N, menjawab pertanyaan penulis, “Tunggu Yan, hari Selasa depan, akan dikaji segala sesuatunya oleh BP2N, manfaat dan mudaratnya!”
Kesimpulan akhir penulis, bila Permenbudpar yang gegabah tersebut jadi dilaksanakan mulai tanggal 1 Januari 2009, maka lonceng kematian telah ditabuh oleh Menbudpar Ir Jero Wacik untuk membunuh semua bioskop, dan menyusul juga secara langsung segera meremukkan film Indonesia …

Nah… dengan adanya aturan (Permenbudpar) Nomor: PM.55/PW.204/MKP/2008 itu, maka penggandaan film impor harus wajib musti dilakukan di indonesia, padahal dengan minimnya lab2 dan SDMnya, eksportir film hollywood (Motion Pictures Association) ga percaya dengan penggandaan yang dilakukan di indonesia. Akibatnya, mereka melakukan pending terhadap film-film yang seharusnya udah ditayangkan di indonesia. Misalnya Watchmen dan Dragonball Evolution. Bukan ga mungkin kalau kondisi seperti ini terus-menerus gak ditemukan solusi secepatnya, nanti film-film epic 2009 kayak X-Men Origins: Wolverine, Star Trek, Harry Potter dan bahkan TRANSFORMERS: REVENGE OF THE FALLEN harus dipending penayangannya di indonesia.

Read More

Calendar